Satu ucapan pertama ketika aku mampir di pasar untuk
mengadakan tugas survey dilapangan terhadap kegiatan dipasar. Ketika aku tiba
disana, dan langkah ku terhenti tepat didepan salah satu pedagang kaki lima,
tanpa aku sadari. Ada ucapan yang begitu asing ditelingaku “ do you like
pinang?” ngek aku baru sadar yang
bertanya pada ku adalah seorang bule pria, tinggi, putih dan berhindung
mancung, kira –kira ditebak dia berasal dari Inggris atau Belanda. aku kaget
didepan mata ku seorang bule ganteng yang menurut anggapan aku aneh jika dia
berada ditempat itu dan menanyakan hal
itu pada ku. Mulut sang bule terlihat sangat merah seperti darah-darah, ya dia
baru saja mencoba memakan pinang, ajaib
seorang bule mau mencoba cemilan khas papua satu ini.
Iapun mencoba untuk menawarkan pinang yang baru ia beli
padaku, aku masih menatapnya dengan pandangan yang masih
binggung. Setelah ia mencoba mengahlikan pandanganku, baru menyadari bahwa ia
mengajakku bercakap. Aku pun meladani pembicaraannya. Bangga sekali rasanya
melihat seorang bule yang berwisata ke Raja Ampat sangat ingin mencoba cemilan
khas papua ini, juga sebagai daya tarik
tersendiri untuk Papua terkhususnya Raja Ampat dibidang kuliner.
Sekitar sepuluh menit berlalu aku bercakap dengan bule
tersebut dan iapun pergi melanjutkan perjalanannya kepantai WTC (Wasai Torang
Cinta). Sepanjang aku mendata dan
melakukan wawancara dengan para penjual pinang, aku masih terpikir terus
bagaimana bisa seorang bule menyukai pinang? Aku yang asli papua saja tidak
pernah mau mencoba untuk memakan cemilan satu ini. di bayangkan saja sudah tak
suka apalagi dimakan, aduh tambah bisa sakit perut diriku, bukan bermaksud
sombong memang kenyataan aku tidak pernah dibiasakan oleh orang tua untuk memakan pinang dan waktu umur 12 tahun sudah tinggal dipulau jawa
sampai kuliah saat ini.
Kita pasti sudah tahu akan pinang dan setiap daerah di Indonesia
sangat menyukai Pinang, hanya berbeda-beda pada penyebutan saja, dan
kebanyakkan dari diseluruh Indonesia menyebutnya dengan nyirih, juga yang biasa
yang menyirih adalah kaum lansia. sedangkan di papua pukul rata, dari berbagai
segala usia menyirih entah itu anak, remaja, pemuda, orangtua,dan lansia.
Pinang, sirih dan kapur tiga sekawan yang menjadi pelengkap dalam menyirih jika tak ada salah satu pasti rasanya sangat
beda. Tiga sekawan ini memiliki arti yang sangat penting dalam kehidupan adat
orang papua, dalam segala adat pasti ada sirih-pinang maupun kapur. Untuk salah
satu ekspor pinang terbanyak dari kampung halaman bapakku Teluk Wondama, salah satu kabupaten di
Propinsi Papua Barat, menurut penuturan ibu-ibu penjual pinang bahwa
pinang-sirih kiriman dari sana yang paling bagus.
Sekembali dari pasar tiba-tiba diperjalanan hujan gerimis
turun dan menjadi lebat membasahi seluruh ibu kota Raja Ampat kami memutuskan
untuk berteduh satu pengalaman kiniku dapatkan lagi, aku semakin bangga dan
cinta pada papua. Bukan hanya kaya akan alam, budaya, bahasa, suku, tapi juga
kulinernya. Sungguh hal yang selama ini tertutup dalam pikiranku,
perlahan-lahan terbuka. saat berteduh Patner satu pelatihan jurnalisku
mengatakan dalam logat papua “ adek kalau ko tau sekarang itu yang disini, yang
makan Pinang tra hanya tong pu orang tapi, orang amber dong juga suka adek.”
(red-dek kamu harus tahu yang biasa memakan pinang sekarang itu, bukan hanya dari
orang asli papua, tetapi para pendatang juga ).
Banyak hal memang yang aku tidak tahu mungkin aku tidak percaya pada
perkataan patner pelatihanku itu. Waktu
aku pulang mencoba melewati pasar,
ternyata apa yang dikatakan oleh patner pelatihanku benar disore-sore hari
entah itu dimuka pasar waisai, atau disepanjang perjalananku aku menemukan dari
berbagai orang dari, Ambon, Manado, atau Medan, dll. Mereka dengan santainya
mengunyah pinang dipinggir jalan. Sungguh nikmat memang setiap pinang yang
disantap. Ada harapan dalam hatiku, suatu saat aku pasti akan lancar menyirih
seperti mereka. Kamu mau coba?. By:
RELISA MEYER.