Kamis, 28 Agustus 2014

DO YOU LIKE PINANG?


Satu ucapan pertama ketika aku mampir di pasar untuk mengadakan tugas survey dilapangan terhadap kegiatan dipasar. Ketika aku tiba disana, dan langkah ku terhenti tepat didepan salah satu pedagang kaki lima, tanpa aku sadari. Ada ucapan yang begitu asing ditelingaku “ do you like pinang?”  ngek aku baru sadar yang bertanya pada ku adalah seorang bule pria, tinggi, putih dan berhindung mancung, kira –kira ditebak dia berasal dari Inggris atau Belanda. aku kaget didepan mata ku seorang bule ganteng yang menurut anggapan aku aneh jika dia berada ditempat itu  dan menanyakan hal itu pada ku. Mulut sang bule terlihat sangat merah seperti darah-darah, ya dia baru saja mencoba  memakan pinang, ajaib seorang bule mau mencoba cemilan khas papua satu ini.
Iapun mencoba untuk menawarkan pinang yang baru ia beli padaku,  aku masih  menatapnya dengan pandangan yang masih binggung. Setelah ia mencoba mengahlikan pandanganku, baru menyadari bahwa ia mengajakku bercakap. Aku pun meladani pembicaraannya. Bangga sekali rasanya melihat seorang bule yang berwisata ke Raja Ampat sangat ingin mencoba cemilan khas papua ini,  juga sebagai daya tarik tersendiri untuk Papua terkhususnya Raja Ampat dibidang kuliner.
Sekitar sepuluh menit berlalu aku bercakap dengan bule tersebut dan iapun pergi melanjutkan perjalanannya kepantai WTC (Wasai Torang Cinta). Sepanjang aku mendata  dan melakukan wawancara dengan para penjual pinang, aku masih terpikir terus bagaimana bisa seorang bule menyukai pinang? Aku yang asli papua saja tidak pernah mau mencoba untuk memakan cemilan satu ini. di bayangkan saja sudah tak suka apalagi dimakan, aduh tambah bisa sakit perut diriku, bukan bermaksud sombong memang kenyataan aku tidak pernah dibiasakan oleh orang tua  untuk memakan pinang dan waktu  umur 12 tahun sudah tinggal dipulau jawa sampai kuliah saat ini.
Kita pasti sudah tahu akan pinang dan setiap daerah di Indonesia sangat menyukai Pinang, hanya berbeda-beda pada penyebutan saja, dan kebanyakkan dari diseluruh Indonesia menyebutnya dengan nyirih, juga yang biasa yang menyirih adalah kaum lansia. sedangkan di papua pukul rata, dari berbagai segala usia menyirih entah itu anak, remaja, pemuda, orangtua,dan lansia. Pinang, sirih dan kapur tiga sekawan yang menjadi pelengkap dalam menyirih  jika tak ada salah satu pasti rasanya sangat beda. Tiga sekawan ini memiliki arti yang sangat penting dalam kehidupan adat orang papua, dalam segala adat pasti ada sirih-pinang maupun kapur. Untuk salah satu ekspor pinang terbanyak dari kampung halaman bapakku  Teluk Wondama, salah satu kabupaten di Propinsi Papua Barat, menurut penuturan ibu-ibu penjual pinang bahwa pinang-sirih kiriman dari sana yang paling bagus.
Sekembali dari pasar tiba-tiba diperjalanan hujan gerimis turun dan menjadi lebat membasahi seluruh ibu kota Raja Ampat kami memutuskan untuk berteduh satu pengalaman kiniku dapatkan lagi, aku semakin bangga dan cinta pada papua. Bukan hanya kaya akan alam, budaya, bahasa, suku, tapi juga kulinernya. Sungguh hal yang selama ini tertutup dalam pikiranku, perlahan-lahan terbuka. saat berteduh Patner satu pelatihan jurnalisku mengatakan dalam logat papua “ adek kalau ko tau sekarang itu yang disini, yang makan Pinang tra hanya tong pu orang tapi, orang amber dong juga suka adek.” (red-dek kamu harus tahu yang biasa memakan pinang sekarang itu, bukan hanya dari orang asli papua, tetapi para pendatang juga ).  Banyak hal memang yang aku tidak tahu mungkin aku tidak percaya pada perkataan patner pelatihanku itu.  Waktu aku pulang  mencoba melewati pasar, ternyata apa yang dikatakan oleh patner pelatihanku benar disore-sore hari entah itu dimuka pasar waisai, atau disepanjang perjalananku aku menemukan dari berbagai orang dari, Ambon, Manado, atau Medan, dll. Mereka dengan santainya mengunyah pinang dipinggir jalan. Sungguh nikmat memang setiap pinang yang disantap. Ada harapan dalam hatiku, suatu saat aku pasti akan lancar menyirih seperti mereka.  Kamu mau coba?. By: RELISA MEYER.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar